Rabu, 02 Februari 2011

SEBUAH RENUNGAN UNTUK MEMBANGUN BUDAYA DAN PARIWISATA KOTA PALU……….. ( Kedua ).

1 comments
 

oleh Kahar Palloe Ashley pada 08 Oktober 2009 jam 16:32
Salam Budaya….. terima kasih untuk semuanya yang telah memberi komentar, kritik dan support pada buah pikir sederhana saya lewat tulisan tentang sebuah perenungan bagaimana membangun kebudayaan dan pariwisata Kota Palu? Sebagai salah satu sektor andalan daerah ini.
Senang sekali kita bisa memanfaatkan dunia maya ini untuk bisa saling silaturahmi, sharing pendapat, yang tak lain berharap semoga bisa bermanfaat bagi kemajuan serta kemaslahatan “Bumi Tadulako” yang kita cintai bersama. Saya coba melanjutkan buah pikir sederhana saya, tanpa melihat posisi saya sebagai apa? Siapa?, tetapi murni saya adalah anggota masyarakat Kota Palu yang mengidam-idamkan sebuah keindahan, kemajuan, ketenaran “ngata” ini bagaimana membangun aneka karakter sehingga menjadi sebuah daya pikat dengan keunikannya.
Medio Rabu ( 7 Oktober 2009 ), saya mencoba menulis 2 buah status di jaringan sosial “facebook”. Yang pertama, saya menanyakan “apa nama jalan yang melintas pantai Taman Ria Palu?, dan yang kedua “apa nama taman yang berada di sudut Jalan Mokolembake yang di gerbangnya tertulis “selamat datang”?. Ibarat seorang pemancing ikan, saya berharap mendapat ikan “bayaba” (ikan merah bermata besar dan sangat enak, banyak terdapat di Teluk Palu), tetapi akhirnya ternyata ikan – ikan yang saya pancing beraneka ragam. Lalu saya berpikir, rupanya begini membangun kebudayaan dan pariwisata. Berhadapan dengan beragam karakter, karena itulah keindahan. Dari 2 pertanyaan saya lewat status facebook, intinya memang kita semua tidak tau jawabannya, sehingga muncul banyak versi jawaban menurut pikiran kita masing – masing.
Itulah gambaran sederhana dari beberapa kekurangan yang kita miliki dalam membangun kebudayaan dan pariwisata di daerah ini (Kota Palu). Sudah banyak yang hilang atau sengaja dihilangkan tanpa alas an yang mendasar, banyak yang dibangun tapi tidak jelas karakter, peruntukan, apalagi nilai situs dan kesejarahannya. Sampai hari ini, masyarakat Palu sebagian besar menyebut nama jalan “Sapiri” ketika ingin berkunjung ke Museum Propinsi. Padahal oleh pemangku jabatan yang berkewenangan mengurus penamaan jalan, sudah merubah nama jalannya menjadi jalan “kemiri”. Mengapa berganti nama? Apa kurang pas? Tidak “sreg” didengar? Yang tau jawabannya, itulah sesungguhnya jawabannya, menurut versi si penjawab.
Coba kembali kita merenung akan esensi dari sebuah kekayaan bangsa yang bernama “kebudayaan”. Pakar kebudayaan, tokoh antropologi Indonesia ( Koentjaraningrat ) sudah memberikan modal besar kepada kita untuk membangun jatidiri, kepribadian bangsa ini melalui kebudayaan dengan 7 unsurnya, salah satunya adalah “bahasa”. Pepatahpun mengatakan “bahasa adalah bangsa”. Negara kita sangat tersohor dengan keragaman bahasa daerah yang memiliki banyak dialek. Itu sangat jelas tidak dimiliki oleh bangsa lain manapun di dunia ini. Indonesia memang indah. Dari keragaman bahasa etnis itu, pasti ada bahasa “Kaili” di dalamnya, karena “Ngata Kaili” adalah wilayah NKRI. Lantas mengapa nama – nama jalan di Kota Palu yang dulunya menggunakan bahasa daerah, diganti? Saya cuma berharap, semoga yang menggagas penggantian nama-nama jalan tersebut memiliki pengetahuan lebih dalam tentang “esensi kebudayaan”.
“Budaya” memiliki ciri, unsur dan nilai, termasuk kesejarahannya. Ada hal lain yang sederhana, saya coba angkat dalam buah pikir ini, berkenan dengan membangun kebudayaan dan pariwisata Kota Palu. Sampai hari ini pun orang – orang Palu menyebut simpang di jalan Sudirman, Moh. Hatta dan Cut Nyak Din sebagai “jam kota”. Padahal disitu sudah tidak ada jam, malah terpancang tegak banner promo produk sebuah provider. Masih banyak lagi yang bisa kita saksikan dengan mata telanjang, tugu, patung, taman, dan tempat – tempat yang dibangun untuk memperindah kota, yang tidak jelas namanya, kenapa dibuat seperti itu? Apa maksudnya? Bagaimana nilai history-nya? Yang pada akhirnya namanya pun tidak jelas, sehingga tidak menunjukkan ciri dan karakter dari kebudayaan daerah.
Seperti yang saya tulis dalam buah pikir sederhana saya sebelumnya, “kita tidak berkiblat” atau “ikut-ikutan” dengan daerah lain, karena kita memang punya karakter budaya sendiri, tetapi jujur kita akui bahwa “di negeri sana” semua jelas (namanya, peruntukannya, terlebih lagi nilai sejarahnya), sehingga sampai kapanpun nama-nama sudah dikena, dan tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk merubahnya. Salah satu contoh, sebuah tugu besar, tinggi menjulang di Kota Jakarta, sampai hari ini masih bernama “Monas” ( Monumen Nasional ). Sebuah taman kota dengan panggung dengan latar belakang diorama peperangan di kawasan Malioboro Yogyakarta, oleh Sri Sultan Hamengkubowono dan keturunannya, tidak berani merubah namanya dari “Panggung Serangan Oemoem”. Bagaimana nilai histori dari tempat-tempat tersebut, saya kira ketika kita masih sekolah, sebelum menjadi pejabat daerah, pasti sudah tau ceritanya. Begitulah sederhananya, “semua jelas”.
Sayang sekali, slogan “pakarampi budaya” (tegakkan kebudayaan) yang diwacanakan oleh aparat TNI di daerah ini, hanya sekedar tulisan terpajang di Pos Penjagaan Markas Korem 132 Tadulako Palu. Terima kasih TNI, yang semestinya bertugas menjaga stabilitas keamanan dan kedaulatan Negara, tetap peduli terhadap “kebudayaan”. Dan lebih disayangkan lagi, slogan yang mereka angkat hanya dilirik, dibaca (kalau sempat), oleh para pemangku kebijakan kebudayaan di daerah Palu, tanpa merenung, mengkaji apalagi termotivasi untuk “mo pakarampi budaya” (melakukan hal – hal untuk menegakkan budaya).
Pikiran saya masih awam dan mungkin ini hanya buah pikir sederhana. Barangkali…sekali lagi barangkali…. Dalam membangun kebudayaan dan pariwisata Kota Palu, kita perlu sebuah kerangka acuan berpikir, tertuang dalam sebuah “slogan” sehingga menjadi sebuah program, yang didalamnya berisi aneka kegiatan untuk mewujudkannya. Jujur dan tidak perlu malu – malu, “memang kita tidak punya itu”. Semangat membangun budaya dan pariwisata daerah kita tidak memiliki pemicu.
Padahal kita tidak perlu jauh – jauh mencari pedoman. Bukankah Negara ini membangun kebudayaan dan pariwisata dengan mencanangkan “ Visit Indonesia Year” yang pada tahun 2008 dianggap belum berhasil, lalu dilanjutkan lagi dengan nama itu di tahun ini? Itulah slogan, program, punya target, sekaligus pemicu yang didalamnya terdapat banyak sekali agenda kegiatan kalender event pariwisata untuk mewujudkannya.
Jadi, saya berpikir kenapa tidak Kota Palu mengikuti strategi itu? Ini hanya contoh, mengapa Kota Palu tidak mencanangkan “ Palu Kana Magaya “ (Kota Palu Harus Indah), sebuah slogan sederhana yang diperuntukkan untuk mewujudkan pembangunan budaya dan pariwisata kota. Slogan ini harus punya target, mau 5 tahun? 10 tahun atau 15 tahun? Kalau sudah sampai 20 tahun, oohhh….sungguh terlalu. Slogan inilah yang diharapkan memicu semangat membangun budpar daerah, dipajang dimana-mana, di sudut-sudut kota, dikampanyekan kepada masyarakat, tercipta “Sadar Wisata” mewujudkan “Sapta Pesona”, agar gairah akan sebuah nikmat keindahan itu muncul dan terwujud. “ Palu Kana Magaya “ sarat dengan program – program pendukung setiap tahunnya yang bisa berubah-ubah dan variatif. Mau melaksanakan Festival Teluk Palu, Palu Expo, Penataan kawasan obyek wisata, pemberian izin membangun hotel, festival kesenian, tour kesenian ke dalam dan luar negeri, dan lain – lain, itulah muatan dari sebuah kapal yang bernama “Palu Kana Magaya”, yang kita harapkan bisa berlabuh dengan kemegahan, gemerlap dan keindahannya di Teluk Palu, yang pada akhirnya dikenal di jagat ini.
Ada yang perlu kita sadari untuk mengantar kapal “Palu Kana Magaya” hingga berlabuh di pelabuhan dambaannya. Demikian pula halnya membangun kebudayaan dan pariwisata daerah ini. Sekali lagi, ini menurut pikiran awam saya sebagai buah pikir sederhana. Sebenarnya lembaga pemerintah yang bertindak sebagai pemangku kebijakan kebudayaan dan pariwisata, menempatkan posisinya sebagai penyusun program berdasarkan masukan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholder, dewan kesenian, dan lain-lain), bertindak sebagai pemegang sekaligus penanggung jawab program (karena semua itu menyangkut penggunaan uang rakyat) dan fungsi kontrol. Artinya bukan sebagai pemain, penabuh gendang, penyanyi, pelatih tari, marketing hotel, biro iklan, dan lain – lain. Manfaatkan potensi SDM yang ada. Urusan kesenian, serahkan pada seniman, beri mereka dana. Soal penataan kawasan obyek wisata, gaet pihak ketiga, bicarakan berapa besar biaya pembangunannya, lalu hitung dengan seksama fee pekerjaannya, agar tidak asal membangun. Soal promo, gandeng ASITA, biro perjalanan, kawan – kawan media pers, karena mereka lebih banyak punya jaringan / link ke dalam dan luar negeri dengan akses informatika yang cepat. Selanjutnya, lembaga pemerintah dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu, tinggal menghitung berapa PAD yang didapat dari semua itu? Sejauh mana perkembangan kebudayaan daerah? Dan terus menerus melakukan “pengawasan” sesuai peraturan daerah yang berlaku.
Sepertinya sederhana saja, tetapi memang butuh kerja keras untuk mewujudkannya. Semoga kerjasama tersebut dapat terwujud, tetap dalam kemudi yang terkendali, sehingga kapal “Palu Kana Magaya” tiba dengan selamat di tempat tujuannya dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa.
“ I semapa, Maipiapa, Kita Mamala Muni (siapa lagi, kapan lagi, kita juga bisa). Bangunlah dari tidur panjangmu, karena yakin dan pasti, kapal kita akan segera berlabuh. Amin..


………………………………Buah pemikiran sederhana dari Kahar Mahmud
Mahasiswa Etnomusikologi ISI Yogyakarta
Pemerhati dan Pelaku Seni Budaya Kaili.

One Response so far.

  1. baca tulisan diatas jdi mrinding...
    cuma syangx kota palu lagi di ja2h oleh dialeg ibu kota...
    org palu lebih senang mengunakan budaya orang lain ketimbang budaya sndri..

Leave a Reply

Blogger templates

Blogger news

Kareba Dopa NAVAI

Popular Posts

Facebook